Haru di hari yang dingin menjelang pagi, keharuan tampak karena mimpi yang aneh penuh dengan hal kontemplatif. Aku lekas bangun bergegas ke kamar mandi, dan membuang kotoran seadanya. Ternyata para orang tua sudah beraktifitas di subuh hari begini, malu sebagai anak muda melihat para orang tua yang mestinya banyak istirahat, justru lebih giat dan rajin di banding anak-anak muda yang jauh dibawahnya. Dari kamar mandi aku masuk lagi ke kamar tidurku untuk melanjutkan mengelana di ruang mimpi (tak tahu diri).
Terbangun dari mimpiku bagian ke- dua, bergetar ponsel ku diiringi nada suara khas yang memberitahukan ada sebuah pesan yang masuk. Dengan sigap aku mengambil ponsel, dan membaca isi pesannya. Ternyata pesan dari seorang kawan, memberitahukan bahwa sajakku di muat di sebuah koran. Aku pun bangun dari tempat tidurku, lekas membersihkan diri, kemudian pergi untuk membeli koran.
Ternyata benar, 3 puisiku dimuat di harian Pikiran Rakyat hari ini.
Seringai Dalam Waktumu
Seperti mendengar jejak langkahmu yang gemericik
Melangkah, seiring jatuhnya daun-daun
Layaknya perenungan yang turun dari langit
Dan dengan lambatnya rona yang memerah
Menyerap ke pori-pori mukamu yang pucat
Sunyi kalbu mendekap pada senyap
Esok pada senja kan ku dengar senandung layu
Menyusuri irama-irama yang berdentang
Selirih kekal siulanmu berdiam di benaku
Saat kau pejamkan wajah-wajah yang lelah
Bermekaran di bola matamu, bagai ngengat dimakan jejak
Selembut biasmu menyulam para hati
(di muat harian Pikiran Rakyat Minggu, 17 November 2013)
Menyirat Sebuah Angan
Aku inginkan agar bulan berkaca
Diiringi bintang jatuh yang tergelincir kegirangan
Terdengar suara tiupan angin dan kesepian kosmos,
Bukankah itu lebih baik,
Bila tujuh puluh lima dosa dan ketakutan bersanding di peraduan malam
Aku ingin mengendarai kereta matahari ,
Ditemani air hujan dan kicaunya burung gereja.
Tersirat Angan-angan yang hanyalah makna
Mengejar air mata menjadi lingkaran tak berprasangka
(di muat harian Pikiran Rakyat Minggu, 17 November 2013)
Mengunjungi Lenggang
Mengunjungi lenggang,
kulihat sebuah istana menggantung dilangit
di dinginnya fajar, kau merengek lagi
Embun belum turun
Matamu berkaca-kaca
Ada benarnya dalam hal yang sederhana,
Melesat jatuh atau hujan akan turun dengan rintik-rintik
Berawalan dengan matahari yang sembab
Jangan bicara mati
Karena kata-kata mesti dipikirkan
untuk sekian kalinya
Awan yang putih beradu dengan cahaya
Dan ampas pagi yang menyusut hingga lenyap
Memandang, seperti tatapan takdir yang akan berubah
Duduk di pelataran daun yang lebar
Di tepi sungai Mahakam
Mendatangi hening, semua serba lirih
Di subuh ini akan tampak berbeda
Walau Tuhan tetap tak tampak
Tapi aku tahu
jalannya memang berlaku
(di muat harian Pikiran Rakyat Minggu, 17 November 2013)
selamat menikmati hari minggu yang cerah dalam kemendungannya.
Menyukai ini:
Suka Memuat...